LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK



LAPORAN SEMESTER PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL TERNAK









OLEH:
M.UTAMA MANDALA PUTRA
E10017015
A.5
















FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019






KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunian-Nyalah saya dapat menyelesaikan laporan semester praktikum Teknologi Hasil Ternak ini tepat pada waktunya. Laporan semester ini diharapkan dapat menjadi pedoman kita bersama dalam mata kuliah dasar THT, yang didasarkan pada praktikum yang telah dilaksanakan supaya menjadi titik acuan bagi kita bersama dalam study Teknologi Hasil Ternak. Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan dalam memperbaiki laporan ini dikesempatan yang akan datang. Dalam hal ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Asisten Dosen yang telah membantu kami dalam pelaksanaan praktikum, dan tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam penulisan laporan semester ini.


                                                                           Jambi,   November  2019


                                                                                              M.UTAMA MANDALA PUTRA 




DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................ .....             i
DAFTAR ISI.................................................................................................           ii
DAFTAR TABEL.........................................................................................           iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................           1
1.1. Latar Belakang.........................................................................           1
1.2. Tujuan.......................................................................................           3
1.3. Manfaat....................................................................................           4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..................................................................           6
............. 4.1. Pengawet Alami Pada Telur.....................................................           6
............. 4.2. Pengawetan dengan Penggaraman...........................................           7
............. 4.3. Pengawetan dengan Pengemasan.............................................           9
............. 4.4. Pengawetan dengan Fermentasi...............................................         10
............. 4.5. Pengawetan dengan Pendinginan.............................................         11
............. 4.6. Pengawetan dengan Pengeringan.............................................         11
............. 4.7. Curing (Pengawetan dengan Bahan Kimia).............................         12
............. 4.8. Pengawetan dengan Pembekuan..............................................         13
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................         15
3.1. Tempat dan Waktu...................................................................         15
3.2. Materi.......................................................................................         15
3.3. Metoda.....................................................................................         15
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................         18
............. 4.1. Pengawet Alami Pada Telur.....................................................         18
............. 4.2. Pengawetan dengan Penggaraman...........................................         20
............. 4.3. Pengawetan dengan Pendinginan.............................................         22
............. 4.4. Pengawetan dengan Pengeringan.............................................         23
............. 4.5. Pengemasan Produk Ternak.....................................................         24
............. 4.6. Pengawetan dengan Fermentasi...............................................         27
............. 4.7. Curing (Pengawetan dengan Bahan Kimia).............................         29
............. 4.8. Pengawetan dengan Pembekuan..............................................         30
BAB V KESIMPULAN...............................................................................         31
............. 5.1. Kesimpulan...............................................................................         31
............. 5.2. Saran.........................................................................................         32
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................          33
LAMPIRAN..................................................................................................         36







DAFTAR TABEL
                                                                                                 Halaman

1. Pengamatan selama 5 hari telur..................................................................  18
2. Hasil pengamatan bobot telur....................................................................   20
3. Pengamatan cita rasa..................................................................................   21
4. Hasil pengamatan pada pengemasan dengan pendinginan........................   22
5. Hasil pengamatan pengawetan dengan pengeringan.................................   23
6. Hasil pengawetan dengan suhu kamar.......................................................   25
7. Hasil pengamatan pada suhu rendah (Refrigerator)..................................   26
8. Hasil pengawetan dengan fermentasi........................................................   28
9. Hasil pengamatan curing............................................................................   29
10. Hasil pengamatan pengawetan dengan pembekuan................................   30 







BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Pengawetan adalah cara yang digunakan untuk  membuat makanan memiliki  daya simpan yang lama dan mempertahankan sifat sifat fisik dan kimia makanan. Bahan pengawet adalah bahan kimia yang berfungsi dapat membantu mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk, baik bakteri, kapang maupun khamir dengan cara menghambat, mencegah, memberhentikan proses pembusukan atau kerusakan komponen lain dari bahan pangan.
Telur merupakan salah satu hasil ternak yang dihasilkan dari unggas. Telur mempunyai kandungan gizi yang lengkap dan mudah dicerna. Telur mempunyai struktur fisik yang dimulai dari kerabang telur yang berperan untuk melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, selaput telur, putih telur kental, putih telur cair dan chalaza.  Telur mempunyai pengawet alami yang disebut dengan putih telur ( albumen ) yang mempunyai kemampuan sebagai inhibitor ( penghambat ) bagi pertumbuhan mikroorganisme, sehingga telur tidak cepat mengalami kerusakan atau penurunan kualitas.
Pengawetan dengan penggaraman terdiri dari penggaraman kering dan penggaraman basah. Pengawetan dengan penggaraman kering yaitu cara mengawetkan telur untuk diasinkan dengan melakukan pembalutan pada telur tersebut. Telur dibalut dengan serbuk batu bata, abu gosok dan garam halus yang dicampur sedangkan pengawetan dengan penggaraman basah yaitu mengasinkan telur dengan cara merendam telur dalam larutan garam yang ditambah air kapur,  Kedua cara penggaraman ini jelas berbeda kualitasnya.
Pengemasan bahan atau produk panagan merupakan salah satu kegiatan pengawetan yang sudah cukup lama diaplikasikan dan dilakukan oleh kalangan industri maupun lingkungan rumah tangga. Pengemasan yang dilakukan pada bahan atau produk telah diakui dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan kualitas bahan atau pangan tersebut dalam jangka waktu tertantu. Pengemasan membuat kemungkinan kontaminasi udara, dehidrasi produk, kontak dengan oksigen menjadi terbatas sehingga produk menjadi lebih tahan lama.
Fermentasi adalah proses yang memanfaatkan kemampuan mikroba untuk menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder dalam suatu lingkungan yang dikendalikan. Fermentasi merupakan proses pengubahan bahan organik menjadi bentuk lain yang lebih berguna dengan bantuan mikroorganisme secara terkontrol. Mikroorganisme yang terlibat di antaranya adalah bakteri, protozoa, jamur atau kapang, ragi atau yeast. Manfaat utama fermentasi adalah pengubahan karbohidrat menjadi asam organik yang bersifat mengawetkan makanan. Untuk menghasilkan suatu produk fermentasi tertentu, dibutuhkan kondisis fermentasi dan jenis mikroba dengan karakteristik tertentu. Oleh karena itu diperlukan keadaan lingkungan, substrat, serta perlakuan yang sesuai sehingga produk yang dihasilkan menjadi optimal.
Pengawetan dengan pengeringan adalah salah satu cara pengawetan yang banyak digunakan. Pengawetan dengan pengeringan bertujuan untuk memperkecil atau menghilangkan kadar air dalam bahan pangan sehingga produk akan lebih tahan lama karena keberadaan air dalam bahan pangan ikut menentukan kualitas daya tahan bahan panagan, semakin tinggi kadar aiar maka banhan pangan tersebut relatif tidak tahan lama. Pengurangan kadar air pada bahan pangan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan sinar matahari ( sun drying ) dan oven atau pengeringan buatan ( artificial drying ). Kecepatan penurunan kadar air bahan pangan tergantung dari kandungan air bahan yang dikeringkan, ketebalan atau luas permukaan bahan pangan, dan temperatur pengeringan.
Curing merupakan suatu sistem pengawetan terpadu yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet dengan bantuan kontrol mikroba secara selektif. Istilah curing digunakan jika sistem tersebut diterapkan terhadap daging dan sejenisnya. Daging merupakan produk yang high perishable atau produk yang mudah  mengalami kerusakan, sehingga dapat dilakukan pengawetan untuk menghindari kerusakan.
Pembekuan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan dan memepertahankan kualitas bahan pangan. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara pengawetan dan penyimpanan yang paling aman dilihat dari stabilitas nilai gizi, tetapi apabila semakin rendah suhu (pembekuan) dan lama penyimpanan, maka kerusakan dan perubahan tidak bisa dihindari. Pembekuan akan menghasilkan dripp atau air yang keluar dari bahan pangan yang tidak terikat oleh sel-selnya. Semakin besar dan kasar kristal es yang terbentuk selama pembekuan akan berakibat semakin banyak air yang tidak ammpu diikat kembali sel sel jaringan, sehingga jumlah dripp semakin banyak.
1.2. Tujuan
   Adapun tujuan dari praktikum pengawet alami telur adalah untuk mengetahui kemampuan pengawet alami yang ada pada telur, untuk mengetahui penyebab kerusakan pada telur, dan untuk mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah diolah.
Adapun tujuan dari praktikum pengawetan dengan penggaraman adalah untuk mengetahui peran garam dalam pengawetan telur, untuk mengetahui cara pengawetan dengan penggaraman basah dan penggaraman kering, untuk mengetahui perbedaan kualitas telur dengan penggaraman basah dan penggaraman kering.
Adapun tujuan dari praktikum pengawetan dengan pengemasan adalah untuk mengetahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas bahan pangan, untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada daging ayam yang didinginkan dengan menggunakan kemasan dan tanpa kemasan, dan untuk mengetahui perubahan yang tejadi pada produk yang disimpan dalam kemasan dengan produk tanpa kemasan.
Adapun tujuan dari praktikum pengawetan dengan fermentasi adalah untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada susu yang difermentasi selama 12-14 jam pada suhu kamar.
Adapun tujuan dari praktikum pengawetan dengan pengeringan adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan proses pengeringan dan untuk mengetahui cara mengukur kadar air pangan atau bahan pangan.
Adapun tujuan dari praktikum curing adalah untuk mengetahui daya tahan simpan produk, dan untuk melihat perubahan warna produk.
Adapun tujuan dari pratikum pengawetan dengan pembekuan adalah untuk mengetahui dripp daging setelah pembekuan, untuk mengetahui dripp dari berbagai irisan atau bagian karkas ayam,dan untuk mengetahui faktor-fator yang berpengaruh terhadap jumlah dripp yang dikeluarkan dari daging setelah pembekuan.
1.3. Manfaat
   Adapun manfaat dari praktikum pengawet alami telur adalah praktikan mengetahui tentang pengawet alami yang ada pada telur, mengetahui penyebab kerusakan pada telur, dan mengetahui daya simpan telur pada keadaan mentah dan setelah diolah.
Adapun manfaat dari praktikum pengawetan dengan penggaraman adalah praktikan mengetahui peran garam dalam pengawetan telur, mengetahui cara pengawetan dengan penggaraman basah dan penggaraman kering, dan mengetahui perbedaan kualitas telur dengan penggaraman basah dan penggaraman kering.
Adapun manfaat dari praktikum pengawetan dengan pengemasan adalah praktikan mengetahui peran dan fungsi kemasan dalam mempertahankan kualitas bahan pangan,  mengetahui perubahan yang terjadi pada daging ayam yang didinginkan dengan menggunakan kemasan dan tanpa kemasan, dan mengetahui perubahan yang tejadi pada produk yang disimpan dalam kemasan dengan produk tanpa kemasan.
Adapun manfaat dari praktikum pengawetan dengan fermentasi adalah praktikan mengetahui perubahan yang terjadi pada susu yang difermentasi selama 12-14 jam pada suhu kamar.
Adapun manfaat dari praktikum pengawetan dengan pengeringan adalah praktikan mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan proses pengeringan dan mengetahui cara mengukur kadar air pangan atau bahan pangan.
Adapun manfaat dari praktikum curing adalah praktikan mengetahui kemampuan daya tahan simpan produk, dan mengetahui perubahan warna produk yang diberi nitrit.
Adapun manfaat dari pratikum pengawetan dengan pembekuan adalah praktikan mengetahui jumlah dripp daging setelah pembekuan, mengetahui dripp dari berbagai irisan atau bagian karkas ayam,dan mengetahui faktor-fator yang berpengaruh terhadap jumlah dripp yang dikeluarkan dari daging setelah pembekuan.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengawet Alami Pada Telur
Telur adalah sumber protein bermutu tinggi kaya akan vitamin dan mineral, protein termasuk sempurna karena mengandung semua jenis asam amino esensial dalam jumlah cukup seimbang (antonius, 2001).
Pilliang, (2003), menyatakan bahwa kerabang telur berfungsi melindungi telur dari tekanan fisik dari luar, penetrasi mikroorganisme dari luar yang menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2 dan H2O.
Pencelupan telur pada air mendidih dapat menyebabkan permukaan dalam kulit telur menggumpal dan menutupi pori kulit telur dari dalam. Hal ini akan memperlambat hilangnya CO2 dan air dari dalam telur serta penyebaran air dari putih ke kuning telur (Fibrianti, 2012).
Telur sebagai bahan pangan mempunyai banyak kelebihan misalnya, kandungan gizi telur yang tinggi, harganya relatif murah bila dibandingkan dengan bahan sumber protein lainnya (Idayanti dkk., 2009).
Jika dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) telur hanya tahan 10-14hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan seperti terjadinya penguapan kadar air melalui pori kulit telur yang berakibat kurangnya berat telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya pengenceran isi telur (Cornelia dkk., 2014).
Menurut Haryono (2004), yang menyatakan bahwa telur sangat mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.
Menurut pendapat Soeparno (2011), bahwasanya penyimpanan telur menyebabkan terjadinya pemindahan air dari putih telur menuju kuning telur.
Semakin lama waktu penyimpanan akan semakin besar terjadinya penguapan cairan dan gas dalam telur sehingga akan menyebabkan rongga udara semakin besar yang menyebabkan putih telur kental menjadi encer (Sudaryani, 2003).
Telur mudah mengalami penurunan kualitas yang disebabkan oleh kerusakan secara fisik, serta penguapan air , karbondioksida, ammonia, nitrogen, dan hidrogen sulfida dari dalam telur (Muchtadi dkk., 2010).
Lama penyimpanan menentukan kualitas telur, semakin lama telur disimpan, kualitas dan kesegaran telur semakin menurun (Haryoto, 2010).
2.2. Pengawetan dengan Penggaraman
                Telur asin merupakan salah satu cara untuk mengawetkan telur. Telur yang biasa diasinkan adalah telur itik karena memiliki pori-pori yang besar dan bau amis yang tajam. Cangkang telur itik berwarna biru muda, sehingga telur itik sangat lazim diasinkan karena penetrasi garam ke dalam telur pada telur itik lebih mudah (Octarisa, 2013).
Proses pengasinan dapat dibedakan menjadi dua cara yaitu merendam telur dengan larutan garam jenuh dan membungkus telur dengan adonan garam yang biasanya terdiri dari bubuk bata, abu gosok dan garam atau dengan kata lain pemeraman (Suprapti, 2002).
Semakin lama waktu pengasinan akan semakin tahan lama masa simpan telur. Selain itu, pengolahan telur itik menjadi telur asin, juga dapat meningkatkan kandungan kalsium telur itik. Sebagaimana menurut Anonim (2008).
Ketersediaan telur tidak mengenal musim, namun telur juga memiliki beberapa kelemahan, antara lain kulit telur mudah pecah atau retak dan tidak dapat menahan tekanan mekanis yang besar sehingga telur tidak dapat diperlakukan secara kasar pada suatu wadah, kelembaban relatif udara dan suhu ruang penyimpanan dapat mempengaruhi mutu telur dan dapat menyebabkan perubahan secara kimiawi dan mikrobiologis. Maka dari itu, usaha pengawetan perlu dilakukan untuk mempertahankan kualitas telur (Tulung dkk, 2003).
Garam adalah seasoning dan pengawet yang komposisinya terdiri atas natrium klorida yaitu 40% natrium dan 60% klorida (Prihantoro, 2003).
Menurut penjelasan Kartono (2014) bahwa organoleptik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam menganalisis kualitas dan mutu produk. Jadi dalam hal ini aspek yang diuji dapat berupa warna, rasa, bau, dan tekstur.
Telur memiliki kandungan zat gizi yang lengkap dan dikonsumsi secara luas oleh masyarakat Indonesia. Namun telur memiliki kelemahan, yaitu masa simpannya relatif pendek sehingga diperlukan upaya pengawetan untuk memperpanjang masa simpannya (Novia dkk, 2011).
Menurut pendapat  Soedjai (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan telur dapat dilakukan dentgan cara melapisi kulit telur dengan pembungkus kering (dry packing), perendaman (immertion in liquid), penutupan kulit dengan bahan pengawet (shell shealing) dan penyimpanan dalam ruangan pendingin (coid store).
Bentuk olahan telur itik yang sampai sekarang paling dikenal dan paling digemari oleh masyarakat Indonesia adalah telur asin. Telur asin merupakan telur yang diawetkan dengan cara penggaraman. Tujuan utama dari proses pengasinan telur ini selain membuang rasa amis dan menciptakan rasa yang khas adalah untuk memperpanjang masa simpan telur. Garam merupakan faktor utama dalam proses pengasinan telur berfungsi sebagai bahan pengawet untuk mencegah pembusukan telur, sehingga meningkatkan daya simpannya. Semakin tinggi kadar garam yang diberikan dalam proses pengasinan telur, maka akan semakin meningkatkan daya simpannya (Salim dkk, 2001).
Pengawetan dengan cara merendam telur segar dalam cairan yang dapat menutup pori-pori kulit, yang sekaligus juga bersifat antiseptik hal dari pengawetan basah ini juga lebih bagus bila disimpannya ditempatkan diruang yang bersuhu rendah (Rasyaf M, 2004).
Penggunaan kadar garam yang tinggi selain dapat menyebabkan tingkat keasinan meningkat juga berkontribusi secara nyata terhadap prevalensi kejadian hipertensi. WHO mengumumkan dalam proses pengasinan dibutuhkan penambahan garam secara signifikan yang dapat mengakibatkan kandungan garam dalam makanan melewati ambang batas dan menambah berat beban ginjal. Bagi konsumen yang gemar mengonsumsi makanan asinan, bahaya hipertensi akan meningkat seiring dengan penggunaan garam yang berlebihan (WHO, 2003)
Menurut pendapat Winarto (2009), yang menyatakan bahwa cita rasa bahan pangan terdiri dari bau, rasa, dan rangsangan dari mulut, cita rasa telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dalam telur atau fermentasi mikroba.
2.3. Pengawetan dengan Pengemasan
 Hardono.S. (2000) Penentuan daya awet dapat dilakukan dilaboratorium dengan cara menilai mutu bahan pangan bila disimpan didalam bahan pengemas tertentu untuk jangka waktu yang berbeda-beda di bawah kondisi standar.
Karel (2004) Ada suatu metode yang teliti untuk menentukan daya tembus plastik-plastik tipis yang bersifat fleksibel terhadap oksigen, tetapi diperlukan suatu pekerjaan untuk penerapan hasil-hasil yang dicapai dengan metode-metode tersebut dalam pengemasan bahan-bahan pangan yang peka terhadap oksigen
Menurut pendapat Bambang, S (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
Menurut pendapat Hadiwiyoto (2007), yang menyatakan bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah proses kerusakan.
Brody (2000) Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan da dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang biasanya diketahui.
Fennema (2002) Ada 2 pengaruh pendinginan terhadap makanan diantaranya penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan kimi, mikrobiologi dan biokimia yag berhubungan dengan kelayuan (senescene), kerusakan (decay) pembusukan dan yang kedua adalah pada suhu dibawah 0 oC air akan membeku dan terpisah dari larutan yang membentuk es yang mirip dalam hal air yang diuapkan paada pengeringan atau suatu penurunan Aw (aktivitas air).
Cara mempertahankan klualitas susu  dari serangan mikroba yaitu dengan cara dipanaskan atau pasteurisasi pada suhu 72 derjat celcius selama 15 detik atau 65 derajat celcius selam 30 menit (Piliang, 2005).
Penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan (Robert, 2009).
Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan oleh sifat alamiah dari produk yang berlangsung secara spontan yang kedua adalah kerusakan karena pengaruh lingkungan (Faridaz dkk, 2003).
2.4. Pengawetan dengan Fermentasi
Fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi (Buckle, 2008).
Harris (2001) Nilai rasa dari yoghurt dan plantarum yang dimasukan ke dalam susu ini akan berubah tergantung dari lama cepatnya waktu yang digunakan dalam melakuka fermentasi susu.
Hardjowigeno.S (2000) Susu yang dicampurkan dengan yoghurt dan yakult maka akan mengeluarkan atau menghasilkan aroma khas susu.
Nulik, J. (2001) Susu yang terlihat utuh dan teksturnya tetap menarik, hal ini disebabkan karena penyimpanan yang cukup lama pada suhu kamar, sehingga susu mengalami dehidrasi pengeringan.
Soerpardi, G.(2003) Didalam pengawetan dengan cara difermentasi pada pengujian warna dengan menggunakan susu segar dicampurka dengan yoghurt, plantarum, dan yakult aka warnanya tetap berwarna putih susu.
Santoso (2000) Penyimpanan susu fermentasi ini didalam tabung/botol yang tertutup dapat mengakibatkan penggumpulan, namun bakteri pada susu fermentasi menyebabkan keasaman dan timbulnya gas-gas tertentu didalam susu dan keasaman terjadi karena pnggumpalan protein susu tersebut.
Menurut pendapat Gaman (2001), yang menyatakan bahwa bakteri Lactobacillus casei dalam proses fermentasi yaitu menekan pertumbuhan bakteri phatogen, sehingga produk akan tahan lama, membantu proses pencernaan dalam tubuh dan akan menghasilkan rasa asam pada produk.
            Protein yang sering digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain Lactobacillus casie, merupakan bakteri baik yang dapat menekan patogen dalam saluran pencernaan (Hadiwiyoto, 2007).
Protein yang sering digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain lactobacillus, yang digunakan dalam pembuatan yakult. Dipilihnya laktobacillus ini dikarenakan bakteri tersebut bakteri yang baik karena dapat menekan bakteri patogen dalam saluran pencernaan (Yuanita, 2001).
2.5. Pengawetan dengan Pendinginan
            Brody (2000) Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan da dengan demikian membutuhkan pemikiran dan perhatian yang lebih besar daripada yang biasanya diketahui.
Fennema (2002) Ada 2 pengaruh pendinginan terhadap makanan diantaranya penurunan suhu akan mengakibatkan penurunan kimi, mikrobiologi dan biokimia yag berhubungan dengan kelayuan (senescene), kerusakan (decay) pembusukan dan yang kedua adalah pada suhu dibawah 0 oC air akan membeku dan terpisah dari larutan yang membentuk es yang mirip dalam hal air yang diuapkan paada pengeringan atau suatu penurunan Aw (aktivitas air).
Menurut pendapat dari Robert (2009), menyatakan bahwa penyimpanan daging pada suhu dingin dapat menyebabkan kerusakan apabila terlalu lama disimpan.
            Penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karna adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan walaupun sudah ada proses pengawetan yang bertujuan untuk mencegah kerusakan dan penyimpanan dengan suhu dingin lebih tahan lama (Hadiwiyoto, 2007).
            Pengawetan atau penyimpanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada penyimpanan pada suhu kamar, karna pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat (Bambang, 2007).

2.6. Pengawetan dengan Pengeringan
Bernando (2001) Tujuan pengawetan yaitu menjaga ketahanan terhadap serangan jamur (kapang), bakteri, virus, dan kuman agar daging tidak mudah rusak. Ada beberapa cara pengawetan yaitu pendinginan, pelayuan, pengasapan, pengeringan, pengalengan dan pembekuan.
Hermana (2000) Daging adalah urat yang melekat pada kerangka, kecuali dari bagian bibir, hidung, dan telinga dari hewan yang sekat sewaktu dipotong. Daging terdiri dari otot, jaringan penghubung dan jaringan ternak.
Hermansya,M. (2002) Penyimpanan bahan makanan yang cukup lama selama suhu 60 oC dan 40 oC akan menyebakan daging dehidarasi dalam pengeringan daging merupakan bahan pangan yang sangat mudah rusak, karena memiliki senyawa biologis yang masih aktif.
Maha (2000) Pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan daging. Dendeng yang dibuat dendeng yang bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik dapat dismpan sampai 60 hari.
Sofyan (2001) Pengawetan daging merupakan suatu cara menyimpan daging untuk jagka waktu yang cukup lama agar kualitas maupun kebersihannya tetap terjaga.
Pengeringan dengan menggunakan suhu tinggi dan waktu pengeringan yang lama dapat menurunkan aktivitas air (AW). Pengeringan dapat dipercepat dengan temperatur yang tinggi dan memperluas permukaan atau menipiskan bahan yang akan dikeringkan (Purnomo, 2004).
            Menurut pernyataan dari Halid (2007), kadar air adalah presentase kandungan air suatu bahan pangan yang dapat dinyatakan berat basah atau kering.
Makanan yang dikeringkan mempunyai daya simpan yang lebih lama karena kadar air dalam suatu bahan pangan dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan jika kandungan air rendah maka aktivitas MO akan terhambat, pertumbuhan akan terhenti, sehingga MO tidak akan merusak makanan (Respandi, 2003).
2.7. Curing (Pengawetan dengan Bahan Kimia)
Menurut Arbianto P (2000) Larutan sodium nitrat akan berpolimerase dalam mengikat pengawet dalam endapan nitrat. Partikel yang terbentuk akan mengubah warna daging dengan resapan oleh daging yang berasal dari dalam larutan nitrat itu.
Arief, N.A. (2003) Didalam pengawetan dengan bahan kimia (curing) pada daging yang diberikan Nitrat dapat memberikan atau mempertahankan warna merah daging warna merah cerah selama beberapa minggu dibandingkan dengan perlakuan daging tanpa diberi Nitrat.
Chowdrhury (2006) Curing daging adalah cara mengolah daging dengan menambahkan beberapa bahan seperti garam (NaCl, Natrium Nitrit, dan Natrium Nitrat), Gula (Sukrosa atau patihidrolisis) serta bumbu.
Pendapat Desrosier, WN, (2002). Penambahan nitrit menghindari ketergantungan pada mikroorganisme untuk membentuknya dari nitrit, tetapi kadarnya harus tidak di atas 0,05%. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa bila semua nitrat ditambahkan selama curing secara tradisional diubah menjadi nitrit, maka kadar nitrit akan meningkat menjadi 0,25%.
          Pendapat Lawrie, (2003) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Nitrit ini biasanya digunakan dalam curing daging yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet.
             Pendapat Syarif, (2003) mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip dari pengawetan bahan pangan dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan mikroba, menghentikan proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan pangan.
            Pendapat Petrucci, (2004) mengatakan bahwa bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan kimia yang dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun bahan pangan lainnya
             Pendapat Winarto (2000) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
2.8. Pengawetan dengan Pembekuan
            Pendapat Lawrie (2007), yang menyatakan bahwa pada ruangna terbuka bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguaoan yang dapat menyebabkan kekeringn pada bahan tersebut.
          Purnomo (2004) Air bebas dengan mudah hilang bila terjadi pengeringan dan penguapan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan denga cara tersebut.
 Pendapat Sukra (2002) yang menyatakan bahwa eksudasi weep atau dripp akan tergantung pada kuantitas cairan yang dibebaskan dari proses yang ada hubungannya dengan protein-protein urat daging. Dalam hal ini pengkerutan kisi-kisi dari filamen-filamen yang tipis dan tebal dan tingkat cairan yang dimungkinkan keluar ke bagian luar.
Anonymous (2006) Suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut.
Buckle (2004) Untuk mempengaruhi tingkat kadar air yang perlu untuk mempunyai rasio permukaan volume yang tinggi dalam daging oleh karena itu digunakan daging yang sudah dipotong-potong halus.
Davies (2002) Apabila suhu penyimpanan beku cukup rendah dan perubahan kimiawi selama pembekuan dan penyimpanan beku dapat dipertahankan sampai batas minimum, maka mutu makanan beku dapat dipertahankan untuk jagka waktu yang cukup lama.






BAB III
PROSEDUR KERJA
3.1. Waktu dan Tempat
Praktikum Teknologi Hasil Ternak dilaksanakan pada hari Sabtu,  19 Oktober-16 November 2019,  pukul 15.00 WIB sampai dengan selesai. Bertempat di gedung C laboratorium Fakultas Peternakan Universitas Jambi.
3.2. Alat dan Bahan
            Adapun alat yang dipakai pada praktikum teknologi hasil ternak ini yaitu piring, penggorengan, amplas, sabut, toples/ember, plastik poli etilen, pisau, refrigerator, sealer, botol, panci, kompor, timbangan, alat pengaduk, freezer, telenan, termometer, food processor, baskom, daun pisang, dan oven.
            Sedangkan bahan yang dipakai adalah, telur ayam ras, minyak goreng, telur itik, garam, kapur sirih, air, serbuk batu bata, abu gosok, daging sapi, gula pasir, sodium nitrat, bawang, asam jawa,
3.3. Prosedur Kerja
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum pengawet alami pada telur adalah siapkan 3 butir telur ayam ras dan bersihan dari kotoran, kemudian masin –masing telur diberi tanda dengan perlakuan, T1 telur dibiarkan dalam keadaan mentah dan utuh, T2 telur dipecahkan dan diletakan kepiring, T3 telur direbus selama 10 menit kemudian kupas dan letakan dipiring, T4 telur digoreng mata sapi dan diletakan dipiring. Letakan semua perlakuan telur didalam ruangan denan kondisi suhu kamar dan kelembapan kamar, amati semua perlakuan tersebut 2 kali selama 5 hari.
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum pengawetan dengan penggaraman adalah semua telur ditimbang berat awalnya dan diukur volumenya.Pembuatan telur dengan media cair (cara basah) yaitu telur dicuci dan dibersihkan kemudian di lap, setelah itu amplas keraban telur agar penetrasi garam lebih mudah dan kemudian dilap, rendam larutan aram denan perbandingan 1 liter air dan 300 gr garam selama 8-10 hari dalam ember, kemudian rebus hingga masak. Pada pembuatan telur asin dengan pembalutan (cara kering) yaitu bersihkan telur, buat campuran garam halus:serbuk batu bata:abu gosok dengan perbandinan 3:2:2, kemudian buat campuran tersebut menjadi adonan pasta denan menambah air, lapisi telur dengan adonan dan simpan selama 7 hari, kemudian rebus telur hingga masak, dan bandingkan hasilnya dengan cara basah dan cara kering. Kemudian dilakukan perhitungan berat jenis dan penyusutan pada telur dengan carapanaskan botol timbang dalam oven C selama , kemudian masukan kedalam desikator, selam 10 menit kemudian timbang (W).
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum pengemasan dengan pendinginan adalah siapkan 2 potong daging dengan ukuran 5x7 cm lalu timbang kemudian sumpan daging dalam refrigeratir dengan suhu rendah 1-  C dengen perlakuan pada daging I masukan kedalam plastik poli etilen dan rekatkan, pada  daging II biarkan terbuka dalam refrigerator. Lalu amati selama 5 hati, ke,udian keluarkan daging dan timbang bobot akhir dari masing-masing daging.
Metoda pada pengemasan produk ternak adalah siapkan susu segar, kemudian pasteurisasi pada suhu  C selama 15 detik. Kemudian masukan susu tersebut kedalam 4 botol sebanayak 125 ml, kemudian 2 botol didimpan pada suhu kamar dan 2 botol disimpan di refrigerator dengan salah satu dari 2 botol tersebut dibiaran terbuka lalu amati perubahan yang terjadi setiap 8 jam selama 2 hari.
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum  pengawetan dengan fermentasi adalah siapkan susu segar sebanyak  liter dan kemudian panaskan sampai mendidih. Kemudian tambahkan susu bubuk sebanyak 5% lalu aduk. Kemudian dinginkan sampai suhu  C. Kemudian bagi susu tersebut menjadi tiga bagian dan masukan kedalam botol yang telah diberi label YK1, YK2, dan YK3. Kemudian masukan yakult sebanyak 2 sendok teh pada YK1, 3 sendok teh pada YK2, dan 4 sendok teh pada YK3. Kemudian tutup rapat botol dan simpan susu pada suhu kamar selama 12-14 jam. Kemudian amati perubahan pada organoleptik susu.
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum pengawetan dengan pengeringan adalah pisahkan ayam dari tulang, kulit, dan lemak, kemudian daging dibersihkan dan di cacach kemudian dihaluskan dengan food processor. Kemudian haluskan semua bumbu yang telah dibersihkan, kemudian dicampur dengan daging menggunaan food processor, kemudian buat lapisan tipis ( 3-5 cm) adonan yang sudah siap dan letakan diatas daun pisang. Kemudian keringkan dalam oven dengan 2 perlakuan yang  pertam dendeng di keringkan dalam oven selama 36 jam dengan suhu  C dan yang kedua  selama 72 jam dengan suhu  C. Setelah itu ukur kadar air dari masing –masing dendeng dengan cara panaskan botol timbang dalam oven C selama , kemudian masukan kedalam desikator, selam 10 menit kemudian timbang (W).
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum curing ( pengawetan dengan bahan kimia) adalah siapkan 2 potong daging dengan ukuran panjang sekitar 5- 7cm dengan tebal 1-2 cm kemudian timbang masing –masing daging tersebut.Kemudian siapkan 2 larutan yang diberi masing- masing Garam 7,3 gr, gula 2,7 gr, air 45 ml, dan pada larutan I diberinatrium nitrit sebanyak 0,23 gr, sedangkanlarutan II tidak diberi natrium nitrit, masukan kedalam botol yang telah diberi label larutan I dan larutan II. Kemudian masukan daging kedalam botol yang sudah ada larutan tersebut, kemudian simpan selama 6 hari di refrigerator, amati setiap harinya. Setelah 6 hari keluarkan daging dan rebus selama 5 menit. Kemudian amati perubahan yang terjadi sebelum dan setelah perebusan.
Adapun metoda yang digunakan pada praktikum pengawetan dengan pembekuan adalah siapkan karkas ayam, kemudian bagi 2 karkas kiri dan kanan, lalu pisahkan berdasarkan potongan yaitu punggung, sayap, dada, paha tas dan paha bawah, kemudian timbang masing masing lalu simpan dalam freezer selama 48 jam, catat suhu frezer, kemudian setelah 48 jam cairkan (thawing) kemasan karkas yang beku dengan perlakuan irisan bagian kiri thawing pada suhu kamar dan irisan kanan thawing pada refrigerator selam 24 jam kemudian thawing pada suhu kamar , dan timbang, kemudian keluarkan dan pisahkan daging dari cairan yang keluar kemudian timbang, lalu hitung dripp yang keluar dari irisan karkas Dengan cara.






BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Pengawet Alami Pada telur
Dalam praktikum ini ada 4 perlakuan yang dilaksanakan, dimana telur tersebut diletakan pada suhu kamar. Menurut Murtidjo, BA (2006), telur yang kulitnya bersih mulus dan kerabangnya coklat menandakan ketebalan kerabang yang merupakan salah satu faktor daya tahan simpan telur. Jika dibiarkan dalam udara terbuka (suhu ruang) telur hanya tahan 10-14hari, setelah waktu tersebut telur mengalami perubahan-perubahan ke arah kerusakan seperti terjadinya penguapan kadar air melalui pori kulit telur yang berakibat kurangnya berat telur, perubahan komposisi kimia dan terjadinya pengenceran isi telur (Cornelia dkk., 2014).
Tabel 1. Pengamatan selama 5 hari telur maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Perubahan
Perlakuan
Pengamatan Hari ke:
1
2
3
4
5

BAU
T1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T2
Normal
Amis
Sedikit busuk
Busuk
Busuk
T3
Normal
Sedikit busuk
Busuk
Busuk
Busuk
T4
Normal
Normal
Normal
Busuk
Busuk
WARNA
T1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T2
Normal
Normal
Normal
Berjamur
Busuk
T3
Normal
pucat(busuk)
Sedikit berjamur
Berjamur
Busuk
T4
Normal
Normal
Berjamur
Berjamur
Busuk
VISCOSITAS
T1
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
T2
Normal
Sedikit cair
Sedikit cair
Cair
Cair
T3
Normal
Normal
Cair
Berlendir
Berlendir
T4
Normal
Normal
Cair
Berlendir
Berlendir

Dari hasil pengamatan selama 5 hari maka dapat kita lihat hasil yang diproleh telur dengan perlakuan T-1 yaitu biarkan dalam keadaan mentah dan utuh lebih tahan lama dari pada perlakuan yang lain, hal ini karena telur perlakuan  T-1 masih memiliki kerabang yang berfungsi untuk melindungi telur dari mikroorganisme penyebab kerusakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pilliang(2003) yang menyatakan bahwa kerabang telur berfungsi meindungi telur dari tekanan fisik dari luar. Penetrasi mikroorganisme dari luar yang dapat menyebabkan kerusakan dan penghalang penguapan CO2 dan H2O.
Telur Pada perlakuan T2 yaitu telur yang di pecahkan dan di taruh diatas piring pada hari kedua baunya mulai amis. Berwarna kuning kental dengan viscositas nya sedikit cair. Hingga hari ke 5 telur dengan perlakuan T2 sudah berbau busuk dan warnanya menjadi kuning busuk. Menurut pendapat Rasyaf (2007) yang menyatakan telur sangat mudah mengalami kerusakan apalagi telur yang sudah tidak mempunyai kerabang sehingga mikroba sangat mudh berkembang dalam telur khususnya pada telur putih.
Pengamatan pada telur T3 yaitu telur yang direbus dapat kita lihat bahwa telur yang direbus pun daya simpannya juga tidak akan tahan. Hal ini dikarenakan tidak adanya lagi kerabang telur yang dapat melindungi telur sehingga telur dapat mengalami cepat kerusakan,dan dapat diketahi terdapat jamur pada telur yang direbus. Menurut Idris ,S (2004), telur yang sudah pecah (tidak ada lagi pembungkusnya) dan yang sudah digoreng pada hari ke tiga akan berubah warna, karena pada saat itu jamur yang ada pada telur tersebut sudah tumbuh dan berkembang sehingga dapat merubah warnanya menjadi abu-abu atau keputihan pucat.
Pengamatan pada telur dengan perlakuan T4 dapat diketahui bahwa telur tidak tahan dengan daya simpan yang lama . bau telur yang di goreng lebih menyengat dibandingkan telur yang di pecahkan diatas piring. Hal ini sesuai dengan pendapat Hadiwiyanto(2003) yang menyatakan bahwa pada telur yang sudah diolah maka bau (aroma) telur yang sudah di goreng akan lebih cepat mengeluarkan bau amis,dibandingkan dengan bau dari telur yang hanya di pecahkan begitu saja.
4.2. Pengawetan dengan Penggaraman
            Parameter yang diuji antara lain bau/aroma, rasa, warna kuning telur dan warna putih telur. Sebagaimana penjelasan Kartono (2014) bahwa organoleptik merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam menganalisis kualitas dan mutu produk. Jadi dalam hal ini aspek yang diuji dapat berupa warna, rasa, bau, dan tekstur.Adapun hasil yang diproleh pada praktikum dengan penggaraman tersebut yaitu bahwa kualitas pembuatan telur asin lebih efisien dengan cara kering dibandingkan dengan cara basah . Bertikut tabel yang menjelaskan perbandingan antara penggaraman basah dan kering.
Tabel.2. Hasil Pengamatan bobo telur
penggaraman
unit telur
bobot awal(gr)
bobot akhir(gr)
penyuautan%
volume
BJ
Basah
1
72
72
0
70
1,03
2
69
70
1,45
70
0,99
3
72
74
2,8
70
1,03
4
62
69
11,29
66
0,93
Rataan
68,75
71,25
3,89
69
0,99
Kering
1
73
75
2,74
67
1,09
2
70
71
1,43
67
1,04
3
67
71
5,97
66
1,02
4
67
78
16,42
66
1,02
Rataan
69,25
73,75
6,64
66,5
1,043

Dari table diatas dapat diketahui bahwa pada proses penggaraman ini terjadi penyusutan bobot telur pada penggaraman cara basah. Dan penggaraman pada cara keing,saat telur dicuci kerabang telur tampak berubah warna yaitu agak kecoklatan , hal ini disebabkan oleh pengaruh serbuk batu bata yang diberikan saat pembalutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjai(2005) yang menyatakan bahwa pengawetan telur dapat dilakukan dengan cara melapisi kulit telur dengan membungkus pembukusan kering(dry packing),perendaman (immertion in liquid), penutupan kulit dengan bahan pengawer(shell shealing) dan penyimpanan dalam ruang pendinginan (cod store).
Pengawetan dengan cara basah dapat dilakukan dengan cara merendam telur pada air yang sudah ditambah dengan garam,dengan cara ini kualitas telur bisa dapat dipertahan kan. Hal ini sesuai dengan Pendapat Rasyaf(2009) yang menyatakan bahwa pengawetan dengan cara merendam telur segar dalam cairan yang dapat menutupi pori-pori kulit,yang sekaligus juga bersifat antiseptic, hal dari pengawetan basah ini juga lebih bagus bila disimpannya di tempatkan diruang bersuhu rendah.
Tabel.3. Pengamatan Citarasa
penggaraman
Nama anggota
bau
warna
tekstur
rasa


Alb
Yolk
Alb
Yolk
Alb
Yolk
Alb
Yolk

Mandala
ss
ss
s
s
ss
ss
ss
Ss

Hari
S
s
ss
s
s
s
ss
ss

Rada
s
ss
s
s
s
s
ss
s
Basah
Dewi
s
s
s
s
s
s
ss
s

Antoni
s
s
s
s
s
s
ss
s

Ida
s
s
s
s
s
s
s
s

yosua
B
B
s
s
s
s
s
s

Mandala
B
B
B
B
B
B
s
S

Hari
s
s
B
B
s
s
s
S

Rada
B
B
B
B
B
B
B
B
Kering
Dewi
s
s
s
s
s
B
B
B

Antoni
s
s
s
s
s
s
B
B

Ida
s
s
s
ss
s
s
s
S

yosua
s
s
s
s
s
s
s
s

Dari hasil praktikum pengawetan dengan penggaraman ,baik dengan cara basah maupun cara kering. Dapat diproleh cita rasa yang berbeda hal ini disebabkan karena perlakuan yang diberikan juga berbeda. Telur yang diasinkan dengan penggaraman basah memiliki tekstur putih telur yang agak seperti krisktal ,rasanya asin dan baunya amis.Sedangkan penggaraman kering memiliki tekstur putih dan kuning telur yang halus dan memiliki cita rasa yang enak. Hal ini sesuai dengan pedapat Desiosier(2003) yang menyatakan bahwa telur asin merupakan salah satu produk olahan yang pembuatannya adalah penggaraman. Dan Pendapat Winarno(2006)  yang menyatakan bahwa cita rasa  bahan pangan terdiri dari bau,rasa,dan rangsangan dari mulut,citarasa telur asin khas dapat disebabkan oleh faktor pemecahan senyawa dan dalam telur atau fermentasi mikroba.

4.3.Pengemasan Dengan Pendinginan
Pengemasan dengan pendinginan menunjukan efisiensi suhu yang lebih rendah untuk pengemasab bahan pakan. Dengan suhu yang rendah,akan lebih menutup pori pengeluaran air pada permukaan bahan pangan tersebut. Pengawetan atau penyimpanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada penyimpanan pada suhu kamar, karna pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat (Bambang, 2007). Berikut ini adalah table yang menjelaskan hasil Pengamatan pada pengawetan dengan pengemasan dalam pengemasan pendinginan sebagai berikut.
Tabel.4. Hasil pengamatan pada pengemasan pendinginan
Pengamatan
daging
Pengamatan hari-ke
Bobot awal
Bobot akhir


1
2
3
4
5



I
Merah normal
Merah gelap
Merah gelap
Merah gelap
Merah kehitaman
11
11
Warna
II
Normal
Merah
Gelap
Gelap
Gelap
12
5

I
Normal
Lembut
Lembut
Mulai keras
Agak keras


Tekstur
II
Normal
Lembut
Lembut
Agak keras
Keras



I
Normal
Padat
Tak padat
Tak padat
Padat


Konsistensi
II
Normal
padat
Tak padat
Tak padat
Padat



Pendinginan pada suhu refrigator merupakan cara yang paling sederhana dan sering digunakan untuk mengawetkan serta memperpanjang masa simpan. Pendinginan dapat menghambat pertumbuhan mikroba pathogen ,walaupun demikian pendinginan belum tentu juga dapat mempertahankan kualitas bahan pangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Hadiwiyoto (2007), bahwa penyimpanan yang baik tidak bisa menjamin kualitas bahan karena adanya sifat alami bahan yang dapat mengalami kerusakan. Dalam praktikum pengemasan dengan pendinginan, banyaknya cairan daging yang keluar dari dalam, dikarenakan penurunan daya ikat daging. Hal ini sesuai dengan pendapat Hartati (2012) yang menyatakan bahwa selama penyimpanan akan terjadi degradasi kolagen dari protein yang menyusun ikatan silang diantara serat daging, selanjutnya dinyatakan bahwa komponen utama yang berfungsi menahan air daging adalah protein. Perubahan struktur dalam daging seiring dengan lama waktu penyimpanan dapat melemahkan kemampuan daging untuk mengikat cairannya.
Penyusutan pada daging karena pH daging yang menurun. Hartono (2013) yang menyatakan bahwa pH daging menurun,maka daya ikat air menurun. Rendahnya nilah pH daging mengakibatkan struktur daging terbuka sehingga menurunkan daya ikat .
4.4.  Pengawetan dengan Pengeringan
Pada praktikum pengawetan dengan pengeringan dilakukan pembuatan dendeng yang dikeringkan dalam oven dengan 2 perlakuan yaitu yang I dikeirngkan  dalam oven selama 36 jam dengan suhu 50° C dan yang II dikeringkan dalam oven selama 48 jam dengan suhu 50° C. Hal ini sesuai dengn pendapat Lawrie (2000) yang menyatakan bahwa proses pengeringan dalam pembuatan dendeng ada dua cara, pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven yang dapat dijamin hygienis, mutu, dan kekeringannya. Dari hasil pengovenan diperoleh hasil dendeng menjadi tipis dan kering,Aroma dendeng yang dikeringkan juga lebih tercium, hal ini sesuai dengan pendapat Rasyaf (2005)yang menyatakan pembuatan dendeng ayam merupakan salah satu usaha pengawetan daging. Daging yang dibuat dendeng, bisa diperoleh aroma lain dan dendeng yang baik dapat disimpan sampai 60 hari, Kemudian dilakukan perhitungan kadar air dan diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil pengamatan pengawetam dengan Pengeringan
Perlakuan kode pengeringan
Kode sampel

Berat (g)

Kadar air (%)


W
W1
W2

36 jam
A.5.1
30
33
33
0
48 jam
A.5.2
29
32
32
0
        
            Dari table diatas dapat diketahui bahwa hilangnya air dalam dendeng atau bahan makanan lain yang di keringkan akan menyebabkan bahan makanan tersebut mempunyai daya simpan yang lebih lama, sehingga dapat di gunakan pada waktu yang akan datang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Repandi (2003) yang menyatakan bahwa bahan makanan yang di keringkan mempunyai daya simpan yang lebih lama, karena air yang di dalam suatu bahan makanan dapat menjadi media pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan jika kandungan air rendah maka aktifitas Mo akan terhambat,   pertumbuhan dan perkembangannya akan terhenti  sehingga Mo tersebut tidak dapat merusak bahan makanan yang sudah di keringkan.
            Air yang terdapat dalam bahan makanan dapat menyebabkan kerusakan pada bahan makanan, di sebabkan karena proses perkembangbiakan Mo, berkembang biaknya Mo di pengaruhi oleh aktifitas air (AW). AW merupakan jumlah air bebas yang terdapat di dalam bahan makanan yang dapat di gunakan oleh Mo untuk pertumbuhanya. Jika AW di perkecil atau di hilangkan maka bahan makanan tersebut akan lebih awet dan mempunyai daya simpan yang lebih lama, AW dapat di perkecil dengan cara pemanasan atau pengeringan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lawrie (2000), yang menyatakan bahwa pengeringan suatu bahan makanan dengan suhu yang tinggi dan waktu pengeringan yang lama dapat menutunkan aktifitas air (AW).
            Pengeringan dengan suhu yang tinggi dan waktu yang lama dapat menghilangkan kadar air di dalam bahan makanan, pengeringan dapat di lakukan dengan cara memasukkan ke dalam oven atau menggunakan sinar matahari. Cepat atau lambatnya pengeringan dapat di pengaruhi oleh beberapa hal yaitu kandungan air dalam bahan makanan, ketebalan atau ruas permukaan, dan tempelatur yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purnomo (2004) yang menyatakan bahwa pengeringan dapat di percepat Dengan tempelatur yang tinggi dan memperkecil luas permukaan atau menipiskan bahan yang akan di keringkan.
4.5. Pengemasan Produk Ternak
Pengemasan bahan atau produk panagan merupakan salah satu kegiatan pengawetan yang sudah cukup lama diaplikasikan dan dilakukan oleh kalangan industri maupun lingkungan rumah tangga. Kerusakan bahan pangan dapat disebabkan oleh dua hal yaitu kerusakan oleh sifat alamiah dari produk yang berlangsung secara spontan yang kedua adalah kerusakan karena pengaruh lingkungan (Faridaz dkk, 2003).

Tabel.6. Hasil pengawetan dengan suhu kamar
Pengamatan
waktu (jam)
bentuk penyimpanan
Hari ke:
1
2
WARNA
8
Terbuka
PUTIH SUSU 
PUTIH SUSU 

Tertutup
PUTIH SUSU 
PUTIH SUSU 
16
Terbuka
Putih susu
Putih kekuningan 

Tertutup
Putih susu
Putih kekuningan 
24
Terbuka
Putih kekuningan  
Putih kekuningan  

Tertutup
Putih kekuningan  
Putih kekuningan  
BAU
8
Terbuka
 Bau susu
Bau susu 

Tertutup
 Bau susu
Bau susu 
16
Terbuka
 Asam
Busuk  

Tertutup
 Bau susu
Bau susu 
24
Terbuka
 Busuk
Busuk  

Tertutup
 Bau susu
Bau susu 
TEKSTUR
8
Terbuka
cair 
cair 

Tertutup
 cair
cair 
16
Terbuka
 cair
menggumpal 

Tertutup
 Cair
Menggumpal  
24
Terbuka
 Menggumpal 
Menggumpal  

Tertutup
 Menggumpal 
Menggumpal  
KONSISTENSI
8
Terbuka
Terpisah skim dan padatan  
Cairan terpisah dan kental 

Tertutup
 Terpisah antara skim dan padatan
Cairan terpish dan kental 
16
Terbuka
 Terpisah antara skim dan padatan
Cairan terpisah dan kental 

Tertutup
 Terpisah antara cairan dan padatan
Cairan terpisah dan kental 
24
Terbuka
 Terpisah antara cairan dan padatan
Cairan terpisah dan kental 

Tertutup
 Terpisah antara cairan dan padatan
Cairan terpisah dan kental 

Tabel.7. Hasil pengamatan pada suhu rendah (refrigator)
Pengamatan
waktu (jam)
bentuk penyimpanan
Hari ke:
1
2
WARNA
8
Terbuka
Putih susu 
Putih susu 

Tertutup
Putih susu 
Putih susu 
16
Terbuka
Putih susu 
Putih susu 

Tertutup
Putih susu 
Putih susu 
24
Terbuka
Putih susu 
Putih susu 

Tertutup
Bau susu 
Bau susu 
BAU
8
Terbuka
Bau susu 
Bau susu 

Tertutup
Bau susu 
Bau susu 
16
Terbuka
 Amis
Amis  

Tertutup
 Bau susu
Bau susu 
24

Terbuka

Tertutup
Amis
 Bau susu
 Amis
 Bau susu
TEKSTUR
8
Terbuka
 Menggumpal 
Menggumpal  

Tertutup
 Menggumpal 
Menggumpal  
16
Terbuka
 Menggumpal 
Menggumpal  

Tertutup
 Menggumpal 
Menggumpal  
24
Terbuka
 Menggumpal 
Menggumpal  

Tertutup
 Menggumpal 
Menggumpal  
KONSISTENSI
8
Terbuka
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  

Tertutup
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  
16
Terbuka
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  

Tertutup
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  
24
Terbuka
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  

Tertutup
 Terdapat skim dan cairan
Cairan terpisah dan kental  
Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa susu yang disimpan pada suhu kamar akan mudah basi dan terkontaminasi sedangkan pada suhu refrigerator dapat memperlambat kerusakan meskipun kecil dan penggumpalan atau pengentalan merupakn salah satu sifat susu yang khas, penggumpalan dapat disebabkan oleh kegiatan enzim dan penambahan asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Bambang, S (2007), yang menyatakan bahwa pengawetan atau penyimoanan pada suhu rendah lebih tahan lama dari pada disuhu kamar karena pada suhu rendah pertumbuhan mikroba akan terhambat.
     Pada susu pasteurisasi yang diletakan di suhu rendah/refrigerator untuk yang tertutup memiliki bau susu, berwarna putih, tekstur mengental pecah dan konsistensinya sedikit. Sedangkan yang terbuka berwarna putih, tidak begitu bau, tekstur mengental pecah dan konsistensinya banyak. Dari hal ini dapat dilihat jelas perbedaan, bahwa suhu mempengaruhi keadaan produk/susu pasteurisasi. Pasteurisasi sebagai upaya memperpanjang masa simpan pangan dengan mempergunakan panas untuk mengurangi organisme perusak yang terdapat dalam bahan. Pada umumnya susu pasteurisasi lebih disukai dan digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Repandi (2003) yang menyatakan bahwa proses HTST (High Temperature Short Time) pada susu, dipanaskan pada 71,7°C (161°F) untuk paling sedikit 15 detik dan didingikan dengan segera sampai suhu 10°C (50°F) lebih disukai. Oleh karenanya lebih sering digunakan karena mempunyai pengaruh yang lebih kecil terhadap gizi dan flavour susu.
4.6. Pengawetan Dengan Fermentasi
Dalam praktikum ini, susu dibagi atas 3 dengan perlakuan pemberian yakult yang berbeda. Pada YK I diberi yakult 2 sendok teh, YK II 3 sendok teh, dan YK III 4 sendok teh. Bakteri yang digunakan adalah lactobacilus casei. Bakteri ini mempunyai peran yang menguntungkan bagi pencernaan. Hal ini sesuai dengan  pendapat Yuanta (2001)  yang mengatakan bahwa protein yang sering digunakan dalam fermentasi bahan pangan terutama susu antara lain lactobacillus, yang digunakan dalam pembuatan yakult. Dipilihnya laktobacillus ini dikarenakan bakteri tersebut bakteri yang baik karena dapat menekan bakteri patogen dalam saluran pencernaan.
Setelah proses fermentasi selama 12-14 jam pada suhu kamar maka diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 8. Hasil pengawetan dengan Fermentasi
Pengamatan
Perlakuan
YK I
YK-II
YK-III
WARNA
Putih kekuningan
Putih kekuningan
Putih kekuningan
BAU/AROMA
Asam/susu basi
Asam/susu basi
Sedikit asam/seperti bau yogurt
KEKENTALAN
Kental/ terdapat larutan kuning
Kental/ terdapat larutan kuning
Kental/ terdapat larutan kuning
RASA
hambar
hambar
Agak terasa Rasa yakult

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hasil pada YK III lebih baik, karena yakutl diberikan sebanyak 4 sendok teh. Sehingga pada YK-III menghasilkan hasil fermentasi yang lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Buckle (2003) yang menyatakan bahwa fermentasi oleh bakteri akan menghasilkan asam. Produk yang difermentasi akan lebih bagus dibandingkan dengan produk yang tidak difermentasi. Susu yang difrmentasi banyak membawa manfaat. Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (2002) menyatakan bahwa susu fermentasi diketahui mengandung bakteri asam laktat yang mampu meningkatkan kerja enzim galaktosidae yang memudahkan pencernaan laktosa dalam usus, meningkatkan kualitas nutrisi, menurunkan kadar kolesterol darah, mencegah kanker dan mengatasi diare.


4.7. Curing (Pengawetan dengan Bahan kimia)
Curing merupakan suatu sistem pengawetan terpadu yang mengandalkan kekuatan garam sebagai pengawet dengan bantuan kontrol mikroba secara selektif. Istilah curing digunakan jika sistem tersebut diterapkan terhadap daging dan sejenisnya. Pendapat Winarto (2000) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak dicuring.
Pada dasarnya prinsip dari pengawetan bahan pangan dengan bahan kimia yaitu mencegah pertumbuhan mikroba, menghentikan proses-proses pembusukan oleh mikroba pada bahan pangan. Menurut pendapat Petrucci, (2004) mengatakan bahwa bahan kimia nitrit dan nitrat merupakan bahan kimia yang dapat digunakan dalam pengawetan bahan pangan daging maupun bahan pangan lainnya.
Tabel.9. Hasil pengamatan Curing
Perlakuan daging
Perubahan warna hari-ke
Sebelum perebusan
Setelah perebusan

1
2
3


Dengan sodium nitrat
Merah gelap
Merah gelap
Merah gelap
Merah gelap
Coklat terang
Tanpa sodium   nitrat
Merah muda
Merah muda pucat
Putih pucat kemerahan
Putih kemerahan
Coklat pucat

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa daging yang diberi nitrit lebih merah dari pada yang tidak diberi nitrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (2002) yang menyatakan bahwa daging yang dicuring dengan penambahan nitrat akan menghasilkan warna merah daging yang lebih bagus dibanding daging yang tidak di beri nitrit. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Anonymous (2006) yang menyatakan bahwa tujuan dari curing ini yaitu untuk mempertahankan warna merah daging ataupun ikan, memberi rasa pada daging dan ikan, dan sebagai pengawetan. Daging  yang dicuring akan lebih awet dibandingkan dengan daging tanpa pengolahan, karena proses curing  dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie (2000) yang menyatakan bahwa fungsi nitrit dalam curing yaitu dapat menghambat pertumbuhan bakteri.
4.8. Pengawetan dengan Pembekuan
            Pembekuan merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan dan memepertahankan kualitas bahan pangan. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara pengawetan dan penyimpanan yang paling aman dilihat dari stabilitas nilai gizi, tetapi apabila semakin rendah suhu (pembekuan) dan lama penyimpanan, maka kerusakan dan perubahan tidak bisa dihindari. Pembekuan akan menghasilkan dripp atau air yang keluar dari bahan pangan yang tidak terikat oleh sel-selnya.
Tabel 10. Hasil pengamatan pengawetan dengan pembekuan
irisian/bagian karkas ayam
Temperatur thawing
Bobot Irisan Karkas (gr)
%Dripp
Awal
Akhir
dada atas
suhu kamar
114
112
1,76
suhu refrigator
157
149
5,09

Lawrie (2001), menyatakan bahwa pada ruangna terbuka bahan akan mengalami perubahan yang berupa adanya penguapan yang dapat menyebabkan kekeringan pada bahan tersebut .Dari tabel diatas diketahui bahwa setiap irisan karkas memiliki berat yang berbeda karena adanya kandungan air . Hal ini sesuai dengan pendapat  Anonymous (2000), yang menyatakan bahwa suatu bahan pangan yang banyak mengandung air yang banyak ataupun sedikit akan mengalami perbedaan berat bahan tersebut. Hasil dripp yang diperoleh juga berbeda hal ini juga dipengaruhi oleh berat awal dan kuantitas cairan yang dibebaskan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lawrie, AR. (2001) yang menyatakan Eksudasi weep atau dripp akan tergantung pada kuantitas cairan yang dibebaskan dari proses yang ada hubungannya dengan protein-protein urat daging.





BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari pratikum pengawet alami pada telur adalah pada telur yang tidak mendapat perlakuan  atau dibiarkan dalam keadaan mentah dan utuhakan lebih tahan lama dibandingkan telur yang mendapat perlakuan. Hal ini disebabkan karena pada kerabangnya terdpat pengawet yang membuat telur terjaga dari serangan mikroorganisme sehingga daya tahan telur lebih lama.
Adapun kesimpulan dari praktikum pengawetan dengan penggaraman adalah terdapat dua cara pengawetan dengan penggaraman yaitu cara basah dan cara kering. Kandungan garam yang masuk kedalam telur dapat menghambat perkembangan organisme dan sekaligus memberikan aroma yang khas dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama.
Adapun kesimpulan dari praktikum pengawetan dengan pengemasan adalah tujuan pengemasan adalah untuk menjaga kualitas produk dari serangan mikroba yang dapat merusak produk, dan produk yang disimpan pada suhu kamar akan lebih cepat rusak daripada yang disimpan pada refrigerator.
Adapun kesimpulan dari praktikum pengawetan dengan pengeringan adalah dengan dilakukanya pengawetan dengan pengeringan dapat menurunkan kandungan air dalam bahan pakan yang dapat digunakan sebagai media untuk bakteri berkurang sehingga bakteri tidak dpat tumbuh dan membuat daya simpan produk tinggi. Kecepatan pengeringan dipengaruhi oleh kandungan air bahan yan dikeringkan, ketebalan atau luas permukaan bahan, dan temperatur pengeringan.
Adapun kesimpulan dari praktikum curing adalah daging yang diawetkan dengan bahan kimia berupa nitrit maka akan menghasilkan daging yang lebih merah dibanding yang tidak diberikan nitrit.Nitrit juga berfungsi untuk menghambat pertubuhan bakteri. Daging yang dicuring akan lebih awet dibandingkan daging tanpa pengolahan. Adapun kesimpulan dari pengawetan dengan fermentasi adalah produk yang difermentasikan oleh bakteri akan menghasilkan asam, susu yang diberikan lebih banyak yakult hasil fermentasinya lebih baik.
Adapun kesimpulan dari praktikum pengawetan dengan pembekuan adalah bertujuan untuk memperpanjang masa simpan dan menjaga kualitas produk dan dripp yang keluar dari daging  tergantung dari berat awal daging dan penyimpanan.
5.2. Saran
Semoga untuk kedepannya, dalam menjalankan praktikum kesehatan ternak ini para asisten dosen dan praktikan saling bekerja sama dengan sebaik mungkin agar terciptanya keharmonisan didalam praktikum, mengatur manajemen waktu yang baik. Demikian pemberitahuan dari laporan ini, penulis berharap kepada pembaca agar dapat dijadikan pedoman untuk melakukan kegiatan yang sama.


DAFTAR PUSTAKA
Adnan M.2002. Kandungan Energi Dalam Telur. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Anonim 2000. Freezer Dryerhttp://www.Ilshine Urope.com/ Products /freezer dryer.html.
Anonim. 2008. Proses Pembuatan Telur Asin (Online). Tersedia: http://www.indoforum. org/sendmail/t34666/. Diakses 6 Juni 2016.
Anonymous, 2006. Freezer dryer. http://www.ilshine.urope.com/product/freezer Dryer.html Anonymous.2000. Hasil-hasil Olahan Dari Ternak. Penerbit  Agritech, Yogyakarta.
Antonius Riyanto.2001.Kandungan Energi DalamTelur.Penerbit Erlangga,Jakart.
Arbianto P. 2000. Kandungan Bahan Kimia Pada Bahan Pangan. Istitut Pertanian Bogor. Bogor.
Arief N.A. 2003. Pengolahan Hasil Bahan Pangan. Gadjah Mada University. Yogyakarta.
Buckle.2005. Penambahan Garam Mempengaruhi Aktivitas Air Dalam Pangan. Penerbit. GITA. PT Gallus Indonesia Utama.
Brody.2000. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University ,Yogyakarta.
Bambang, S .2007. Pengawetan Bahan Pangan Hasil Ternak. PT Mutiara Sumber  Widya Penabur Benih Kecerdasan.
Buckle, 2008. Produk hasil ternak. Jakarta
Cornelia, A., I. K. Suada, M. D. Rudyanto. 2014. Perbedaan Daya Simpan Telur Ayam Ras yang Dicelupkan dan Tanpa Dicelupkan Larutan Kulit Manggis. Indonesia Medicus Veterinus 3(2): 112-119.
Desrosier, WN. 2001. Teknologi pengawetan pangan. Universitas Indonesia.
           Yogyakarta.
Desrosier M.W.2007. Technology, Elements Of Technology. The Avi Publishing Company. Inc Westport Connecticut.
Frazier W and DC Westhoff.1976. Food Microbiology. Third Edition MC Graw Hill Book Co, New York.
Fennenma dan Gaman, MP. 2002. Ilmu Pangan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Faridaz, D., Andhika, A., dan Lasmi, K. 2003. Penurunan Kandungan dalam kemasan dengan katalis untuk memperpanjang masa simpan produk pangan. Laporan penelitian IPB. Bogor.
Fibrianti, S.M., I. K. Suada, M. D. Rudyanto.2012.Kualitas Telur Ayam Konsumsiyang dibersihkan dan tanpa dibersihkan Selama Penyimpanan Suhu Kamar .Indonesia Medicus Veterinus 1(3):408– 416.
Gaman, MP. 2008 ilmu pangan. Gagjah Mada University Press. Indonesia.
Haryono. 2000. Langkah-langkah Teknis Uji Kualitas Telur Konsumsi Ayam Ras Temu Teknis Fungsional non Peneliti. Balai Penelitian Ternak, Bogor.
Hadiwiyoto, 2008. Hasil-hasil olahan susu. Telur dan daging. Liberty. Jakarta
Haryoto. 2010. Membuat Telur Asin. Kanisius. Yogyakarta.
Kartono, H.2014. Uji Organoleptik. (Online). Tersedia: http://kartonohendry.blogspot.co.id/ 2014/08/uji-organoleptik.html. Diakses 2 November 2016.
Idayanti., S. Darmawati, U. Nurullita. 2009. Perbedaan Variasi Lama Simpan Telur Ayam pada Penyimpanan Suhu Almari Es dengan Suhu Kamar terhadap Total Mikroba. Jurnal Kesehatan 1(2): 19-26.
Lawrie, 2003. Ilmu daging. Universitas Indonesia. Jakarta
Muchtadi, T. R, Ayustaningwarno, F dan Sugiyono. 2010. Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Maha. 2000. Penyimpanan pengolaha dan pengawetan produk ternak. IPB. Bandung 
Muctadi, P.2005. Studies On, and Indonesia Traditional Product. Nutrien and Eff ectby Biology. Forum Pascasarjana 2(10) : 1-10. Fakultas PeternakanUniversitas Brawijaya , Malang.
Murtidjo .2006. Tehnik Dalam Penambahan Garam Dalam Proses Pengawetan.Penerbit Universitas Indonesia. Press.
Murtidjo, BA. 2006. Pedoman beternak ayam broiler. Kanisius. Jakarta
Novia D, Melia S, Ayuza NZ, 2011. Kajian Suhu Pengovenan Terhadap Kadar Protein dan Nilai Organoleptik Telur Asin. Jurnal Peternakan; 8(2): 70-76.
Octarisa, R. 2013. Pengaruh Perbandingan Tepung Tapioka dengan Telur Asin dan Lama Pengukusan pada Pembuatan Kerupuk Telur terhadap Kadar Garam dan Kesukaan Rasa. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1 (1): 157–162.
Prihantoro. 2003. Telur: Komposisi, Penanganan, dan Pengolahannya. Bogor:M-Brio Press.
Piliang, 2003. Pengolahan hasil ternak. IPB. Bandung
Petrucci. 2004. Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta
Purnomo. 2004Ilmu Pangan. Universitas Indonesia. Jakarta
Rasaf, M. 2004. Pengolahan usaha peternakan ayam pedaging. PT.Gramedia
            Pustak utama. Jakarta
Repandi. 2003. Pengolahan hasil ternak. Agromedia Pustaka. Jakarta
Tulung YLR, Suartha N, Hetharie H, Mahatmi H, Saerang JS, Batan W, Masrikat JAN, 2001. Pengantar Falsafah Sains: Telur Sebagai Imunoterapi Penyakit Menular. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Rammanof. 2003. Mendeteksi KetahahanKualitasTelursaat Pengawetan.Penerbit Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya. Malang.
Robert, 2009. Evaluasi gizi dan keruskan bahan pangan. ITB. Bandung.
Soedjai, 2007. Beternak itik. Masa Balai Bandung. Bandung.
Suprapti ML. 2002. Pengawetan Telur. Yogyakarta: Kanisius.
Sukra, 2002. Pengelolaan Peternakan Unggas Pedaging. Kanisius. Yogyakarta
Sofyan. 2001. Bahan Dasar Pembuatan Olahan Pangan. Universitas Brawijaya. Malang.
Saliem HP, Lakolo EM, Purwantini TB, Arianidan M, Marisa Y, 2001. Analisis Ketahanan Pangan Tingkat Rumah Tangga dan Regional. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian.
Syarief, R dan H.Halid, 2007.Teknologi penyimpanan pangan.
        Penerbit Arcan. Jakarta.
Syarief, 2003. Teknologi penyimpanan daging. Agromedia Pustaka. Jakarta
WHO. Diet and Chronic Diseases. 2003. Geneva: World Health Organization.
Wiston F,G.2003. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia:Jakarta.PanganGizi Teknologi dan Konsumen. PT Gramedia : Jakarta.
Winarto, 2000. Pencegahan kerusakan bahan pangan. Pustaka Media, Jakarta
Yuanita, 2001. Penyimpanan pengolaha dan pengawetan produk ternak. IPB.  
            Bandung 
 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI HASIL TERNAK"

Posting Komentar

Silahkan Masukan Pendapat dan Saran Teman-teman Di bawah ini.