MAKALAH AGAMA
Masalah kesetaraan gender dan
keadilan gender dari sudut pandang agama masing-masing
Contoh kasus ketidakadilan
gender. Ketidakadilan gender dilingkungan kita.
DISUSUN OLEH :
BESSE INDAH CAHYANTI PUTRI
DOSEN PEMBIMBING
ULFHA S.Ag.M.pdi
DIII kebidanan
Jurusan kebidanan
POLTEKKES
KEMENKES JAMBI
KATA
PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas izin dan karunia-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu tanpa kurang suatu apa pun. Tak
lupa pula penulis haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah
berjudul Masalah kesetaraan gender dan keadilan gender dari sudut pandang agama
masing-masing Contoh kasus ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender
dilingkungan kita” bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan agama
Islam.
Selama proses penyusunan
makalah, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak. Oleh
karena itu, penulis berterima kasih kepada:
Ibu ulfha S.ag.M.pdi
Akhirul kalam, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Besar harapan penulis
agar pembaca berkenan memberikan umpan balik berupa kritik dan saran. Semoga
makalah ini bisa memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Aamiin.
Wassalamualaikum wr.wb
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL...........................................................................................................
KATA PENGANTAR.........................................................................................................
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN....................................................................................................
A. Latar Belakang ................................................................................................................
B. Rumusan Masalah ...........................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN ....................................................................................................
A. Pengertian gender............................................................................................................
B. Kesetaraan gender............................................................................................................
C. Keadilan gender dari sudut
pandang agama islam ...........................................................
D. Contoh Kasus ketidakadilan
gender.................................................................................
E. Contoh ketidakadilan gender
dalam kehidupan sehari hari .............................................
BAB III
PENUTUP.............................................................................................................
A. Simpulan ........................................................................................................................
B. Saran ...............................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an tidak
mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Di
hadapan Tuhan, lelaki dan perempuan mempunyai derajat yang sama, namun
masalahnya terletak pada implementasi atau operasionalisasi ajaran tersebut.
Kemunculan agama pada dasarnya merupakan jeda yang secara periodik berusaha
mencairkan kekentalan budaya patriarkhi. Oleh sebab itu, kemunculan setiap
agama selalu mendapatkan perlawanan dari mereka yang diuntungkan oleh budaya
patriarkhi. Sikap perlawanan tersebut mengalami pasang surut dalam perkembangan
sejarah manusia.
Semua dimungkinkan
terjadi karena pasca kerasulan Muhammad, umat sendiri tidak diwarisi aturan
secara terperinci (tafshily) dalam memahami Al-Qur'an. Di satu sisi Al-Qur'an
mengakui fungsi laki-laki dan perempuan, baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. Namun tidak ada aturan rinci yang mengikat mengenai
bagaimana keduanya berfungsi secara kultural. Berbeda pada masa kenabian
superioritas dapat diredam. Keberadaan nabi secara fisik sangat berperan untuk
menjaga progresivitas wahyu dalam proses emansipasi kemanusiaan. Persoalannya,
problematika umat semakin kompleks dan tidak terbatas seiring perkembangan zaman,
sementara Al-Qur'an sendiri terdapat aturan-aturan yang masih bersifat umum dan
global (mujmal) adanya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kesetaraan gender?
2.
2. Bagaimana gender dalam perspektif
islam?
3.
3. Apa ruang lingkup kewanitaan
secara biologis?
4.
4. Bagaimana menjaga kodrat
kewanitaan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gender
Secara mendasar, gender
berbada dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan
pemberian, kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Tetapi, jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminine adalah gabungan
blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita.
Setiap masyarakat memiliki berbagai naskah untuk diikuti oleh anggotanya
seperti mereka belajar memainkan peran feminine atau maskulim, sebagaimana
halnya setiap masyarakat memiliki bahasanya sendiri.
Sejak kita sebagai bayi
mungil hingga mencapai usia tua, kita mempelajari dan mempraktikkan cara-cara
khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki
dan perempuan. Gender adalah seperangkat peran yang seperti halnya kostum dan
topeng di teater menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminine atau
maskulin. Perangkat perilaku khusus ini yang mencakup penampilan, pakaian,
sikap, kepribadian, bekerja di dalam dan di luar rumah tangga, seksualitas,
tanggung jawab keluarga dan sebagainya secara bersama-sama memoles peran gender
kita.
Begitu lahir, kita mulai
mempelajari peran gender kita. Dalam satu studi laboratory mengenai gender,
kaum ibu diundang untuk bermain dengan bayi orang lain yang didandani sebagai
anak perempuan atau laki-laki. Tidak hanya gender dari bayi itu yang
menimbulkan bermacam-macam tanggapan dari kaum perempuan, tetapi perilaku
serupa dari seorang bayi ditanggapi secara berbeda, tergantung kepada bagaimana
ia didandani. Ketika si bayi didandani sebagai laki-laki, kaum perempuan
tersebut menanggapi inisiatif si bayi dengan aksi fisik dan permainan. Tetapi
ketika bayi yang sama tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama
tampak seperti perempuan dan melakukan hal yang sama, kaum perempuan itu
menenangkan dan menghiburnya.Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata
gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan
pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara
biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Sedangkan konsep lainnya
adalah konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang konstruksi secara sosial maupun cultural.
1.
Kesetaraan
Gender dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an secara umum dan
dalam banyak ayatnya telah membicarakan relasi gender, hubungan antarara
laki-laki dan perempuan, hak-hak mereka dalam konsepsi yang rapi, indah dan
bersifat adil. Al-Qur’an yang diturunkan sebagai petunjuk manusia, tentunya
pembicaraannya tidaklah terlalu jauh dengan keadaan dan kondisi lingkungan dan
masyarakat pada waktu itu. Seperti apa yang disebut dalam Al-Qur’an surat QS. Al-
Nisa, yang memandang perempuan sebagai makhluk yang mulia dan harus di hormati, yang pada satu
waktu masyarakat Arab sangat tidak menghiraukan nasib mereka.
Sebelum diturunkan surat
An-Nisa ini, telah turun dua surat yang sama-sama membicarakan wanita, yaitu
surat Al-Mumtahanah dan surat Al-Ahzab. Namun pembahasannya belum final, hingga
diturunkan surat An-Nisa’ ini. Oleh karenanya, surat ini disebut dengan surat
An-Nisa’ al-Kubro, sedang surat lain yang membicarakan perempuan juga , seperti
surat al-Tholak, disebut surat An-Nisa’ al Sughro. Surat An-Nisa’ ini benar-
benar memperhatikan kaum lemah, yang di wakili oleh anak- anak yatim,
orang-orang yang lemah akalnya, dan kaum perempuan.
Maka, pada ayat pertama surat An-Nisa’ kita
dapatkan, bahwa Allah telah menyamakan kedudukan laki-laki dan perempuan
sebagai hamba dan makhluk Allah, yang masing- masing jika beramal sholeh, pasti
akan di beri pahala sesuai dengan amalnya. Kedua-duanya tercipta dari jiwa yang
satu (nafsun wahidah), yang
mengisyaratkan bahwa tidak ada perbedaan antara keduanya. Semuanya di bawah
pengawasan Allah serta mempunyai kewajiban untuk bertaqwa kepada-Nya (ittaqu
robbakum).
Kesetaraan yang telah di
akui oleh Al Qur’an tersebut, bukan berarti harus sama antara laki- laki dan
perempuan dalam segala hal.Untuk menjaga kesimbangan alam (sunnatu tadafu’),
harus ada sesuatu yang berbeda, yang masing-masing mempunyai fungsi dan tugas
tersendiri. Tanpa itu, dunia, bahkan alam ini akan berhenti dan hancur. Oleh karenanya, sebgai hikmah dari Allah
untuk menciptakan dua pasang manusia yang berbeda, bukan hanya pada bentuk dan
postur tubuh serta jenis kelaminnya saja, akan tetapi juga pada emosional
dan komposisi kimia dalam tubuh.
Hal ini akibat membawa
efek kepada perbedaan dalam tugas, kewajiban dan hak. Dan hal ini sangatlah
wajar dan sangat logis. Ini bukan sesuatu yang di dramatisir sehingga
merendahkan wanita, sebagaimana anggapan kalangan feminis dan ilmuan Marxis.
Tetapi merupakan bentuk sebuah keseimbangan hidup dan kehidupan, sebagiamana
anggota tubuh manusia yang berbeda- beda tapi menuju kepada persatuan dan
saling melengkapi. Oleh karenanya, suatu yang sangat kurang bijak, kalau ada
beberapa kelompok yang ingin memperjuangkan kesetaraan antara dua jenis manusia
ini dalam semua bidang. Al Qur’an telah meletakkan batas yang jelas dan tegas
di dalam masalah ini, salah satunya adalah ayat- ayat yang terdapat di dalam
surat An-Nisa’. Terutama yang menyinggung konsep pernikahan poligami, hak waris
dan dalam menentukan tanggungjawab di dalam masyarakat dan keluarga.
2.
Keadilan
gender dari sudut pandang agama islam
Di tengah memanasnya suhu perpolitikan nasional akibat
pro-kontra tentang rencana kenaikan harga BBM, terdapat satu isu pen ting yang
juga perlu mendapat perhatian kita bersama, yaitu pembahasan RUU Keadilan dan
Kesetaraan Gender (KKG) oleh Komisi VIII DPR. Jangan sampai RUU ini malah
menjadi produk hukum (undang-undang) yang tidak sesuai dengan keyakinan agama.
Jika itu terjadi, dipastikan akan mengundang reaksi penolakan dari umat Islam.
Apalagi, sejumlah kalangan, terutama para penggiat gerakan feminisme dan
liberalisme, juga sangat aktif menyokong kesetaraan gender dalam perspektif
mereka, yang seolah-olah adalah perspektif dan pendapat yang paling benar.
Sementara, di sisi lain, konsep agama terkait hubungan gender ini dianggap
sebagai konsep yang ‘usang’ dan perlu direvisi karena tidak sesuai dengan
perkembangan zaman.
Jika pemikiran nyeleneh ini dibiarkan maka akan sangat membahayakan keyakinan
umat terhadap ajaran agamanya. Padahal, konsep Islam adalah konsep yang paling
tepat karena ia bersumber langsung dari-Nya. Untuk itu, agar tidak terjadi
kesalahpahaman mengenai konsep hubungan gender, ada beberapa prinsip dasar yang
perlu dipahami dengan benar.
Pertama, posisi laki-laki dan perempuan dalam ajaran Islam sesungguhnya adalah
sederajat. Islam mengajarkan bahwa selama laki-laki ataupun perempuan memiliki
dua hal, mereka akan mendapatkan balasan dari Allah berupa hayatan thayyibah,
kehidupan yang baik. Kedua hal tersebut adalah iman dan amal saleh. Lihat QS
an-Nahl [16]: 97.
Bahkan, dalam QS al-Ahzab [33]: 35, Allah menggambarkan kesetaraan hubungan
laki-laki dan perempuan dalam konteks yang lebih luas. Intinya, baik lakilaki
maupun perempuan, selama mereka taat dan tunduk terhadap aturan Allah dan se
nan tiasa berusaha mengamal kan ajaran Islam dengan baik dan benar, mereka akan
mendapatkan ampunan dan pahala.
Perbedaan yang mungkin terjadi adalah pada kualitas iman dan amal saleh yang
dilakukan. Jika perempuan memiliki kualitas iman dan amal saleh yang lebih baik
dari laki-laki maka tentu reward-nya akan lebih besar. Demikian pula
sebaliknya. Karena itu, jenis kelamin tidak otomatis membuat posisi seseorang
lebih baik dari yang lain, tetapi kualitas iman dan amal saleh yang menentukan
apakah seseorang lebih baik dalam pandangan- Nya atau lebih buruk.
Kedua, dalam kehidupan sosial, Islam pun mengajarkan persamaan derajat antara
laki-laki dan perempuan, yaitu keduanya dapat memiliki peran dan dapat
berkiprah secara bersama-sama dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang
adil, tenteram, dan senantiasa mendapat rahmat Allah.
Pada QS at-Tau bah [9]: 71, kerja sama dan sinergi antara mukmin laki-laki dan
perempuan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya tali persaudaraan.
Kekuatan ukhuwah ini merupakan hal yang sangat fundamental dan sangat
memengaruhi keberhasilan pembangunan sosial masyarakat.
Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki peran dan
peluang yang sama besar dalam upaya menggali dan mengoptimalkan potensi umat
dan bangsa. Keduanya harus saling bekerja sama dalam membangun kekuatan umat di
seluruh bidang kehidupan, seperti membangun kekuatan politik dan ekonomi, agar
bangsa ini tidak mudah didikte dan dikendalikan oleh kekuatan asing yang
merusak.
Potensi zakat, misalnya, meskipun angka minimalnya mencapai Rp 217 triliun,
tidak akan pernah terealisasikan jika tidak didukung oleh kedua belah pihak.
Bahkan, pada kondisikon disi tertentu, sering kita melihat bahwa “tekanan”
istri terhadap suami untuk membayar zakat menjadi fenomena yang turut
mendongkrak pendapatan zakat nasional secara positif.
Sebaliknya, kerja sama antara laki-laki dan perempuan yang memiliki karakter
kepribadian orang-orang munafik bisa menjadi penyebab hancurnya tatanan sosial
kemasyarakatan. (QS at- Taubah [9]: 67). Kerusakan ini tidak bisa diciptakan
oleh salah satu pihak, apakah oleh perempuan saja ataupun oleh laki-laki saja,
jika tanpa diiringi kerja sama yang kuat di antara keduanya.
Ini menunjukkan bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan
yang saling melengkapi, yang bisa memberikan dampak positif mau pun negatif
dalam kehidup an sosial, bergantung pada dasar apa hubungan tersebut dibangun.
Oleh karena itu, sebagai prinsip yang ketiga, Islam mengibaratkan hubungan
antara lakilaki dan perempuan sebagai “pakaian” yang saling menutupi dan saling
menjaga sebagai mana yang termaktub dalam QS al- Baqarah [2]: 187, yaitu “
Hunna libaasul lakum wa antum libaasul lahunna”, yang artinya, “Mereka (perempuan)
adalah pakaian bagi kalian (laki-laki) dan kalian adalah pakaian bagi mereka.”
Sebuah analogi yang sangat indah dan luar biasa. Dengan prinsip ini, kalaupun
ada perbedaan, itu lebih kepada perbedaan fungsi, bukan diskriminasi. Jika
perempuan maupun laki-laki tidak melaksanakan perannya dengan baik, kehidupan
pasti tidak akan berjalan dengan baik.
Misalnya, ikhtiar seorang ayah dalam mencari nafkah bagi keluarganya sama besar
pahalanya dengan ikhtiar seorang ibu yang mendidik anaknya di rumah sehingga
menjadi generasi yang tangguh. Dalam QS Luqman [31]: 14, manusia diperintahkan
untuk bersyukur kepa da Allah dan kepada orang tua nya yang telah mendidiknya,
terutama sang ibu yang telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan telah
menyapihnya selama dua tahun.
Jika seandainya tidak ada sinergi antara sang ayah dan sang ibu di mana
keduanya berjalan masing-masing dan meng anggap dirinya lebih berjasa di
bandingkan yang lain, dipastikan rumah tangga tersebut akan kacau dan
berantakan. Seorang istri boleh saja bekerja, asalkan mendapat izin dari suami
dan tidak mengganggu fungsinya dalam mendidik anak-anaknya.
Demikian indahnya Islam mengatur hubungan dan peran laki-laki dan perempuan.
Karena itu, upaya sebagian pihak untuk “mengaburkan” dan “mendiskreditkan”
3.
Contoh kasus ketidakadilan gender
1. Marginalisasi
(pemiskinan, peminggiran)
Marginalisasi adalah sikap perilaku masyarakat atau
negara yang berakibat pada penyisihan perempuan dan
laki-laki. Marginalisasi lebih kepada peminggiran ekonomi. Marginalisasi
juga didasarkan pada perbedaan gender yang batasan pada peran
perempuan. For example, perempuan yang kurang mendapat tempat untuk
memegang jabatan tinggi dalam birokrasi dan militer, sangat sedikit
peluangnya. Dan pada laki-laki ia kurang mendapat tempat untuk bidang yang
membutuhkan ketelitian dan telaten buruh seperti garmen atau rokok.
2. Subordinasi
(menomorduakan)
Adalah suatu keyakinan bahwa jenis kelamin satu
lebih diutamakan dari jenis kelamin yang lain. Sehingga, menimbulkan
ketidaksetaraan, menjadi nomor dua, tidak mendapat ruang berpendapat dan
lainya. Apalagi yang didukung oleh budaya, adat istiadat, tafsir agama,
peraturan birokrasi yang menjadikan perempuan sebagai bawahan, perempuan kurang
memiliki peluang untuk mengambil keputusan. Contohnya, ada profesi
tertentu yang menjadikan ciri sebagai profesi perempuan seperti sekertaris dan
guru TK. Dalam profesi tertentu ada pembedaan gaji antara perempuan dan
laki-laki, dimana laki-laki lebih besar.
3. Stereotipe (pelabelan)
Penandaan yang acap kalibersifat
negatif. Secara umum terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu. Stereotipe menghasilkan ketidakadilan dan kewarganegaraan
gender. Contohnya, perempuan hanya melayani dengan sektor
domestik. Wanita juga digambarkan sebagai mahluk yang lemah, emosional,
tidak bisa memimpin, kurang rasional dalam kehidupan. Standar produksi
terhadap perempuan dan laki-laki berbeda standar produksi itu lebih merugikan
perempuan.
4. Peran ganda
Beban pekerjaan jenis kelamin satu dengan jenis
kelamin yang lain lebih banyak. Contohnya, seorang perempuan yang bekerja,
ia tetap berperan sebagai ibu ketika dirumah. Ujung-ujungnya peran
tersebut dilimpahkan kepada asisten rumah tangga, yang juga
perempuan. Jadi beban tersebut tidak berpindah ke jenis kelamin yang
lain. Misalnya, berbagi peran dengan pasangan tentang pengasuhan anak.
5. Kekerasan (kekerasan)
Kekerasan kekerasan bentuk kekerasan baik fisik
maupun non fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin, keluarga,
masyarakat, negara jenis kelamin lainya. Kekerasan sendiri-mata ada
bermula dari pembedaan antara feminim dan maskulin. Pembedaan tersebut
telah diambil kekerasannya terjadi. Contohnya, pemerkosaan, kekerasan
seksual, pelecehan seksual, pemukulan, penghinaan, eksplotasi seks pada
perempuan dll.
Bentuk-bentuk ketidakadilan pada perempuan
menunjukan bahwa ketidakadilan dalam gender dari dulu hingga sekarang tetap
ada. Bahkan akan terus ada, dan realitanya perempuan menjadi pihak yang
mendapat perlakuan tidak adil. Jika keadilan terwujud maka kesetaraan
gender pun terwujud. Dan keadilan akan terwujud selama laki-laki,
masyarakat, negara sadar akan gender
4.
Contoh
kasus ketidakadilan gender dikehidupan sehari hari
1.
Subordinasi
atau menomorduakan perempuan
Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam
politik, ekonomi, sosial, pendidikan, jabatan dan karier. Memprioritaskan
penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga
memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. Tidak
hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah
jabatan tertentu harus diubah.
Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh
jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul
tanggung jawab.
2. Stigma negatif yang melekat
Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita
karena konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja
pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. Anak laki-laki
yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng,
bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.Anak perempuan sudah
sewajarnya mudah menangis dan harus selalu diberi kelembutan dan
pengistimewaan. Padahal pandangan seperti itu adalah salah karena menggeneralisasikan
satu sifat tertentu kepada semua orang. Pandangan atau label yang diberikan
selama ini harus diubah dan membutuhkan pendewasaan untuk tatanan gender yang
baik di masyarakat.
3. Perlakuan tindak kekerasan
Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai
subjek, tetapi objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang
tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang
tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan
kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.
Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah
dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi.
Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka,
dan melanggar perintah agama. Tentu ironi yang masih banyak ditemui di
lingkungan sekitar kita.
4. Beban ganda yang dipaksa
Biasanya
sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus
mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa
kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai
korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang
tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri.
Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak
bekerja dan hanya bersantai saja
5. Marginalisasi terhadap perempuan
Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya
karena perbedaan jenis kelamin masih terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas
khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi sasaran utamanya. Misalkan
ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak
masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.
Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni
perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi.
Alasan pandangan tersebut adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan
merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang salah adalah
penyebab kuatnya budaya patriarki.
Jadi dari semua permasalahan tersebut adalah perlunya
pendidikan seksualitas dan gender yang mumpuni agar generasi kelak tidak
mewarisi sifat patriarki yang menindas, merasa superior, merasa rendah atau
direndahkan.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
2.
Konsep
keadilan gender perspekitf Mansour Fakih sebenarnya memiliki Cakupan luas, akan tetapi pemikiran Mansour Fakih
tersebut dapat di Ringkas, yaitu bahwa
keadilan gender, khususnya pada perempuan dapat Digolongkan dalam beberapa bagian: Pertama, perempuan
mempunyai Kedudukan dan martabat yang sama dalam Islam,
yaitu sebagai makhluq Yang dilahirkan dari satu
unsur dan sama-sama menerima tugas sebagai Khalifah di bumi. Kedua, perempuan memiliki hak yang sama
dengan Laki-laki dalam berbagai bidang, terutama dalam
bidang pendidikan. Ketiga, teks keagamaan
sangat menghargai perempuan, sehingga Pemahaman
atau penafsiran yang kurang responsif terhadap perempuan Perlu dikaji ulang untuk dilakukan sebuah
perbaikan-perbaikan, misalnya, Penafsiran
mengenai masalah bahwa perempuan [Hawa] diciptakan dari Tulang rusuk laki-laki [Adam] yang bengkok.
3.
Gender dalam
pendidikan Islam merupakan kegiatan atau proses yang
Mengaitkan
satu komponen dengan komponen lainnya untuk menghasilkan
Pendidikan
yang lebih baik, mengenai kegiatan penyusunan, pelaksanaan,
Penilaian
dan penyempurnaan dalam pendidikan Islam. Keadilan gender
Dalam
Islam merupakan sesuatu yang esensial dalam proses pendidikan,
Sebab
tujuan utamanya yang ingin dicapai adalah untuk meningkatkan
Kualitas sumber daya manusia, khususnya
perempuan. Adapun landasan-landasan pendidikan Islam adalah Al-Qur'an, Hadis
dan ijtihad. Dengan
karakteristiknya,
seperti tujuan pendidikan Islam dan kurikulum pendidikan Islam. Dan dengan beberapa metode pendidikan
Islam yang secara garis besarnya terdapat di dalam Al-Qur'an
dan Hadis, yaitu mengandung muatan keadilan
bagi perempuan.
4.
Analisa
mengenai relevansi konsep keadilan gender perspektif Mansour
Fakih dalam pendidikan
Islam, maka hal-hal yang harus diperhatikan dalam melihat relevansi keadilan gender dalam pendidikan
Islam yaitu:
Meninjau
kembali keadilan di dalam Islam khusunya pendidikan perempuan, pendidikan Islam harus responsive terhadap
kebutuhan masyarakat dan peserta didik (laki-laki dan perempuan),
tanpa membedakan kedua-duanya dalam dunia pendidikan,
dengan mengkaji ulang kebijakan-kebijakan
yang dibuat untuk perempuan, memberikan solusi
pembenaran atau meluruskan kembali segala bentuk permasalahan ketidakadilan gender dengan jalan, memberikan penjelasan
yang benar dan
transparan terhadap
masyarakat dengan tujuan menegakkan keadilan,
bersih dari campur tangan
orang-orang yang tidak bertanggung jawab
dengan menggunakan metode
yang bisa merusak nilai-nilai kemurnian
agama demi kepentingan
tertentu, khususnya keadilan gender dalam
pendidikan Islam. Akan
tetapi secara praktis di lapangan, dalam proses
pembelajaran, beberapa
permasalahan atau kebijakan tersebut belum bisa
memberikan rasa keadilan
bagi perempuan. Maka berkenaan dengan masih
adanya bias gender yang
terjadi kepada perempuan, maka gender dalam pendidikan Islam belum relevan
dalam konsep keadilan gender perspektif
Mansour Fakih. Sehingga
diperlukan adanya suatu perubahan-perubahan
di dalam komponen-komponen
pendidikan Islam, baik itu mengenai sistem
atau isi materi daripada
pendidikan Islam yang berkeadilan. Kemudian
juga penjelasan yang lebih
detail dalam menafsirkan kata gender, sehingga
dikemudian hari tidak
terjadi lagi kesalahpahaman atau diskriminasi
terhadap gender khususnya
kepada perempuan dalam pendidikan Islam.
B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang
majemuk, memiliki beragam macam sosial, budaya, etnis dan
bahasa. Perbedaan ini bukanlah untuk
saling menuntut dan menjatuhkan, tetapi untuk bersama-sama dalam satu tujuan
kemaslahatan umat sebagai Khalifah di bumi. Dengan kedudukannya sebagai
Khalifah, masyarakat harus memiliki pemahaman bersama bahwa antara laki-laki
dan perempuan itu sama, sama-sama memiliki peran sosial, ekonomi dan terutama
pendidikan. Perempuan juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan
dan mencari ilmu. Jangan sampai ada mitos bahwa perempuan hanya cukup di rumah
saja. Masyarakat harus memiliki kesadaran yang krtitis dan benar dalam
menafsiri gerakan kesetaraan gender terutama bagi anak-anak perempuan mereka,
para ulama' dan para mufassir sebagai panutan umat, harus memberikan pemahaman
yang benar kepada orang lain tentang tafsiran-tafsiran seputar gender dan
perempuan. Sehingga tidak ada tindakan
diskriminasi terhadap
gender dan perempuan
a.
Bagi
Kalangan Pendidikan
Penulis berharap besar kepada para penanggung jawab
pendidikan Islam Dari semua tingkatan, mulai
dari pusat sampai pada sekolah, untuk selalu Bijak dan inklusif dalam mendesain dan mengimplementasikan
segala Kebijakan pendidikan Islam yang menghargai kaum
perempuan. Pendidikan Islam selama ini, secara konseptual
sudah responsive terhadap
Perempuan, akan tetapi di dalam kehidupan praktis, kita
masih Menempatkan posisi dan peran perempuan yang
kurang seimbang dengan Laki-laki terutama dalam
proses belajar mengajar. Maka kalangan Pendidikan
harus mempunyai niatan bersama unrtuk menciptakan konsep Kebijakan yang memperhatikan keadilan bagi manusia
khususnya
Perempuan. Kesetaraan gender dalam proses pembelajaran
memerlukan
Keterlibatan dinas-dinas yang terkait, sebagai pengambil
kebijakan
Dibidang pendidikan sekolah secara kelembagaan dan
terutama guru,
Dalam hal ini diperlukan standarisasi buku materi yang
salah satu
Kriterianya adalah berwawasan gender. Selain itu, guru
akan menjadi agen
Perubahan yang sangat menentukan bagi terciptanya
kesetaraan gender
Dalam pendidikan melalui proses pembelajaran yang peka
gender.
b.
Bagi
Kalangan Pembela Perempuan
Para pemerhati perempuan, selama ini
sudah sering mengadakan
Pendampingan dan
penyadaran terhadap kaum perempuan, tetapi hasil yang diperoleh masih belum
maksimal. Para aktivis ini selanjutnya harus lebih menyelami
dunia pendidikan dengan ikut dalam mendesain dan mengimplementasikan kebijakan
yang adil terhadap perempuan, yang nantinya akan menghasilkan peserta didik yang
ramah pula terhadap perempuan, dengan memberikan penyadaran lewat
pendidikan Islam sebagai bagian terpenting
dalam Islam.
0 Response to "Masalah kesetaraan gender dan keadilan gender dari sudut pandang agama masing-masing"
Posting Komentar
Silahkan Masukan Pendapat dan Saran Teman-teman Di bawah ini.